Yogyakarta, kota pelajar dan budaya, pernah menyaksikan geliat startup transportasi lokal seperti Call Jack yang berusaha menyaingi raksasa teknologi seperti Gojek dan Grab.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, layanan lokal ini nyaris "ditelan bumi" akibat tekanan persaingan, ketidaksetaraan teknologi, dan perubahan preferensi konsumen.
Kelahiran dan Ambisi Call Jack
Call Jack muncul sekitar tahun 2010-an sebagai respons terhadap kebutuhan transportasi warga Yogya yang menginginkan layanan ojek terorganisir.
Berbeda dengan ojek tradisional, Call Jack menawarkan:
- Pemesanan via telepon atau SMS, menghilangkan kebutuhan negosiasi tarif.
- Pengemudi terdaftar dengan identitas jelas, meningkatkan rasa aman.
- Tarif standar berdasarkan jarak, lebih transparan dibanding ojek pangkalan.
Sayangnya, inovasi ini kalah cepat dengan kehadiran aplikasi ride-hailing berbasis smartphone seperti Gojek (2010) dan Grab (2012) yang masuk ke Indonesia sekitar 2015.
Gelombang Teknologi yang Menenggelamkan Call Jack
Kehadiran Gojek dan Grab membawa revolusi layanan yang tak terkejar oleh Call Jack:
- Aplikasi dengan fitur real-time tracking, pembayaran digital, dan ulasan pengemudi menarik minat generasi muda dan turis.
- Gojek/Grab menawarkan bukan hanya ojek, tetapi juga menawarkan ekosistem yang terintegrasi seperti pesan makanan, belanja, dan pembayaran digital.
- Skala pendanaan dengan investasi miliaran dolar dari modal ventura memungkinkan diskon besar-besaran dan insentif pengguna.
Studi di Yogyakarta menunjukkan faktor antarmuka aplikasi dan profil perusahaan menjadi penentu utama pilihan konsumen.
Sekitar 78% pengguna ride-hailing usia 18–34 tahun memilih Gojek/Grab karena kemudahan aplikasi.
Dampak Sosio-Ekonomi: Dari Pengemudi hingga Konsumen
Pengemudi Call Jack kesulitan bersaing dengan insentif finansial dari platform digital, tarif rendah dan bonus dari Gojek/Grab menarik konsumen secara massal.
Sejak 2023, ribuan pengemudi Gojek/Grab di Yogya turun ke jalan menuntut kenaikan upah dan transparansi tarif, mencerminkan ketegangan ekonomi di sektor ini.
Perubahan Perilaku Konsumen
Penelitian di Yogyakarta menunjukkan pengguna ride-hailing didominasi usia 18–34 tahun (582 responden) yang mengutamakan faktor time efficiency dan kenyamanan.
Layanan first-mile/last-mile ke bandara/stasiun di Yogya kini didominasi Grab/Gojek. Studi pada 418 pengguna menunjukkan 65% memilih mereka karena kepastian waktu.
Perlawanan dan Upaya Bertahan Call Jack
Meski terdesak, upaya bertahan masih dilakukan Call Jack mencoba integrasi dengan usaha kuliner Yogya untuk layanan pesan-antar, tetapi kalah jangkauan dengan ekosistem GoFood/GrabFood.
Kelompok pengemudi lokal mendesak Pemda DIY mengatur tarif minimum dan kuota untuk operator lokal. Beberapa mantan pengemudi Call Jack beralih ke layanan transportasi wisata Borobudur via bus umum atau shuttle off-app untuk hindari komisi platform.
Analisis Kegagalan: Mengapa Ojek Lokal Kalah?
Faktor kritis kehancuran Call Jack mencakup:
Faktor | Call Jack | Gojek/Grab |
---|---|---|
Teknologi | SMS/Telepon | Aplikasi Real-time |
Pendanaan | Modal terbatas | Investasi global |
Diversifikasi | Layanan transportasi | Super-app (gofood, pay, etc) |
Skala Pasar | Lokal Yogyakarta | Regional Asia Tenggara |
Studi di Yogyakarta menyebut kepemilikan sepeda motor dan pendapatan sebagai penentu loyalitas pengguna ride-hailing. |
Peluang dan Masa Depan Call Jack di Tengah Dominasi Raksasa
- Pemerintah bisa menerapkan kebijakan seperti "Tarif Minimum" atau "Persyaratan Lisensi Operator Lokal" untuk ciptakan lapangan bermain adil.
- Fokus pada turis yang membutuhkan layanan personal ke Candi Borobudur/Prambanan dengan paket terpadu.
- Integrasi layanan dengan transportasi umum seperti TransJogja untuk rute yang tak terjangkau aplikasi.
- ScienceDirect, 2022. Mapping the Motorcycle-Based Ride-Hailing Users in Indonesia.
- MDPI Sustainability, 2024. Ride-Hailing Preferences for First- and Last-Mile Connectivity.
- AsiaConnect Magazine, 2024. Indonesian Ride-Hailing Drivers Protest Low Pay and Merger Fears.