Watermark Generatif: Senjata Baru Deteksi Konten AI Palsu (Deepfake)

Notification

×

Watermark Generatif: Senjata Baru Deteksi Konten AI Palsu (Deepfake)

27/06/2025 | Juni 27, 2025 WIB Last Updated 2025-06-27T01:58:08Z
AI,DeepFake,Watermark Generatif,Embedding Algorithm,Detection Algorithm,C2PA/IPTC,AI Act,Google SynthID,TikTok,Adobe CAI,OpenAI


Di tengah ledakan konten buatan AI, deepfake menjadi senjata berbahaya.  Data Sumsub menunjukkan peningkatan 4x lipat deepfake global dari 2023–2024, menyumbang 7% penipuan digital—mulai dari pemalsuan identitas hingga rekayasa sosial. 


Contoh nyata terjadi di Hong Kong, karyawan tertipu deepfake suara CFO yang merugikan perusahaan $25 juta


Indonesia pun tak luput, misalnya kasus deepfake Presiden Prabowo Subianto untuk penipuan "bantuan fiktif" menjangkau 20 provinsi. 


Cara Kerja Watermark Generatif


Watermark generatif adalah tanda digital tak kasatmata yang disematkan ke konten AI (gambar, video, audio, atau teks). 


Berbeda dengan watermark konvensional, teknologi watermark generatif dirancang tahan manipulasi seperti cropping, kompresi, atau filter.


Watermark generatif bekerja dengan dua algoritma kunci, yaitu:  

  1. Embedding Algorithm menyisipkan kode unik ke dalam konten (teks, gambar, audio, video) saat dibuat oleh AI.  Kode bisa berupa pola statistik dalam teks atau modifikasi piksel tak terlihat pada gambar.
  2. Membaca kode tersembunyi (Detection Algorithm) tersebut untuk memverifikasi apakah konten berasal dari AI, bahkan menelusuri model pembuatnya.


Teknologi ini dirancang untuk bertahan dari upaya penghapusan, seperti kompresi file atau cropping gambar.  


Google DeepMind's SynthID, misalnya, menggunakan watermarking yang tetap terdeteksi meskipun gambar di-edit.


Penerapan di Dunia Nyata: Dari TikTok hingga Pemilu


Beberapa platform dan negara telah mengadopsi teknologi ini:

  • TikTok & Meta memakai standar invisible watermark dan metadata C2PA/IPTC untuk label otomatis konten AI di Facebook, Instagram, dan Threads.

  • Adobe & Microsoft menggabungkan watermark dengan blockchain untuk lacak sejarah editan gambar lewat inisiatif Coalition for Content Provenance and Authenticity (C2PA).

  • Kebijakan global china mewajibkan watermark pada semua konten AI, sementara Uni Eropa mengatur pelacakan konten sintetis dalam AI Act.


Implementasi Watermark Generatif oleh Platform Teknologi


Platform/Inisiatif Metode Watermark Konten yang Didukung
Google SynthID Invisible, tahan editan Gambar, teks, audio, video
TikTok Metadata C2PA/IPTC Gambar & video AI
Adobe CAI Blockchain + watermark Gambar, dokumen, video
OpenAI Pola statistik teks Output model GPT


Watermark Generatif Bukan Solusi Ajaib


Meski menjanjikan, watermark generatif masih memiliki kelemahan krusial rentan sabotase, misal Bad actor bisa menghapus metadata atau memanipulasi watermark untuk menyebar misinformasi yang "terverifikasi" palsu.


Watermark dari Google tidak terbaca oleh detektor OpenAI, membuat verifikasi konten jadi rumit sehingga watermark masih hanya sebatas memberi label, bukan membuktikan kebenaran konten. 


Dengan demikian gambar AI berwatermark tetap bisa berisi hoax jika pembuatnya berniat jahat.  


Ahli dari University at Buffalo, Siwei Lyu, menegaskan: "Watermarking bukan solusi sempurna. Ia mengandalkan ketidaktahuan pengguna".


Untuk efektivitas maksimal, watermark perlu didukung oleh regulasi Global, misalnya standar ISO 22144 untuk provenance konten yang sedang dikembangkan ITU dan C2PA.  


Selain regulasi global, menggunakan deteksi Multi-Lapis dengan mengkombinasikan watermark, forensic analysis (seperti deteksi anomali gambar), dan AI classifier dapat meningkatkan efektifitas deteksi konten palsu.


Literasi digital juga sangat diperlukan dengan melakukan edukasi publik untuk memverifikasi konten dengan alat seperti Content Credentials (Adobe) atau Fact-Check Explorer (Google).


"Watermark hanyalah triase untuk mengurangi bahaya. Butuh kombinasi kebijakan, teknologi, dan kesadaran manusia," ujar Sam Gregory dari WITNESS.



Watermark generatif adalah "tameng pertama" melawan misinformasi AI, tetapi perang sejati membutuhkan kewaspadaan manusia.  Seperti kata pepatah digital: "Trust, but verify".


Sumber: