Kisah Bukalapak yang Terjebak antara Inovasi dan Beban Ekuitas Publik

Notification

×

Kisah Bukalapak yang Terjebak antara Inovasi dan Beban Ekuitas Publik

25/05/2025 | Mei 25, 2025 WIB Last Updated 2025-05-25T11:17:23Z

Platform,E-Commerce,Bukalapak,IPO,Shopee,Lazada,Tokopedia,Tencent,Alibaba

Sebagai salah satu unicorn pertama Indonesia yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2021, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) sempat menjadi simbol kebanggaan industri teknologi Tanah Air. 


Namun, perjalanan pasca-IPO justru menguak dilema antara mempertahankan inovasi dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi pasar modal. 


Kisah ini menjadi cermin tantangan perusahaan rintisan yang terjebak dalam dinamika ekuitas publik.


Euforia IPO dan Awal yang Gemilang Bukalapak

Pada Agustus 2021, Bukalapak berhasil menggalang dana Rp 21,9 triliun (US$1,5 miliar) melalui IPO terbesar sepanjang sejarah Indonesia. 


Saham Bukalapak melonjak 25% di hari pertama perdagangan, mencapai harga tertinggi 1.325 rupiah per saham. 


Animo investor ritel sangat tinggi, didorong oleh harga saham yang terjangkau (sekitar 0,076 USD per lembar) dan narasi pertumbuhan sektor e-commerce selama pandemi.


Namun, euforia ini tidak bertahan lama. Pada Januari 2022, saham BUKA anjlok 66% dari puncaknya, menyisakan kapitalisasi pasar di bawah Rp 37 triliun. 


Penurunan tersebut mencerminkan skeptisisme investor terhadap kemampuan Bukalapak mencapai profitabilitas, terutama saat laporan keuangan terus menunjukkan kerugian.


Tekanan Ekuitas Publik vs. Inovasi Bukalapak

Sebagai perusahaan publik, Bukalapak dihadapkan pada tuntutan untuk memperbaiki kinerja keuangan.  Sayangnya, inovasi yang menjadi DNA perusahaan justru terbebani oleh tekanan-tekanan sebagai berikut:

  • Pada 2023, Bukalapak mencatat kerugian bersih Rp 1,37 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya.  Bahkan di kuartal III 2024, EBITDA tetap negatif (-Rp 168 miliar).
  • Di tengah persaingan ketat dengan Shopee, Lazada, dan Tokopedia (yang didukung raksasa seperti Tencent dan Alibaba),  Bukalapak terpaksa menutup lini bisnis inti, termasuk layanan "BukaCicilan" (pembayaran cicilan) dan menghentikan penjualan produk fisik pada Februari 2025.
  • Untuk mengurangi beban operasional, Bukalapak beralih ke layanan virtual seperti isi ulang listrik, pembayaran pajak, dan top-up pulsa.  Namun, langkah ini dinilai kurang strategis mengingat pangsa pasar virtual yang masih kecil di Indonesia.


Akar Masalah Bukalapak: Persaingan dan Model Bisnis yang Rentan

Bukalapak awalnya sukses dengan strategi "pemberdayaan UMKM" melalui platform Mitra Bukalapak, yang menghubungkan 7 juta warung tradisional (warung) ke ekosistem digital.  Namun, model bisnis ini terbukti rentan terhadap:

  • Persaingan Global Shopee dan Tokopedia (yang merger dengan Gojek) menguasai 70% pasar e-commerce Indonesia, sementara Bukalapak hanya menyumbang 7%.
  • Pergantian CEO dan eksodus pendiri membuat strategi perusahaan kurang konsisten.


Pelajaran bagi Startup: Kapan Waktu yang Tepat untuk IPO?

Kisah Bukalapak mengingatkan pentingnya mempertimbangkan kematangan bisnis sebelum IPO.  Meski IPO memberikan suntikan modal, tekanan untuk mencapai profitabilitas dalam waktu singkat justru bisa mematikan inovasi. 


Analis Rudiyanto dari Panin Asset Management menekankan bahwa investor kini lebih selektif, memprioritaskan perusahaan dengan roadmap laba yang jelas.


Kisah Bukalapak merupakan pembelajaran tentang kompleksitas mengelola ekspektasi pasar modal sambil menjaga inovasi.  Bagi perusahaan rintisan, IPO mungkin adalah awal dari perjalanan yang lebih berliku, bukan garis finis.


Referensi Artikel:



Sumber Youtube:  CNBC Indonesia, 08 Jan 2025 10:30. Geger! Bukalapak Tutup Layanan Marketplace.