Pembatasan Starlink di Indonesia: Antara Kejenuhan Kapasitas dan Pertarungan Regulasi

Notification

×

Pembatasan Starlink di Indonesia: Antara Kejenuhan Kapasitas dan Pertarungan Regulasi

13/07/2025 | Juli 13, 2025 WIB Last Updated 2025-07-13T09:48:48Z

Internet,Network,Starlink,Low Earth Orbit (LEO),Pasifik Satelit Nusantara (PSN),Media Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI)

Layar merah "Kapasitas Habis" kini menyambut warga Indonesia yang hendak mendaftar Starlink – penghentian mendadak layanan baru ini memutus harapan puluhan ribu masyarakat di daerah blank spot internet. 


Pada 12 Juli 2025, perusahaan satelit Elon Musk itu secara resmi mengumumkan penghentian sementara penerimaan pengguna baru di seluruh wilayah Indonesia melalui postingan blog bertajuk "Catatan Penting untuk Pelanggan Baru di Indonesia". 


Keputusan ini ibarat tamparan bagi masyarakat pedalaman yang baru melihat cahaya konektivitas setelah satu dekade terisolasi.


Jalan Panjang dari Bali ke Blank Spot: Narasi yang Retak

Kehadiran Starlink di Indonesia diawali dengan gebrakan spektakuler.  Pada Mei 2024, Elon Musk sendiri terbang ke Denpasar untuk meresmikan layanan, didampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. 


Misi mulia "penyebaran internet ke daerah terpencil" menjadi jargon utama, khususnya untuk fasilitas kesehatan di wilayah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).  


Izin operasional dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) pun telah diperoleh beberapa minggu sebelumnya, seolah membuka jalan mulus revolusi digital nusantara.


Fakta di lapangan justru bercerita lain.  Tingginya permintaan dari perkotaan – bukan pedalaman – yang membanjiri sistem.  Paket "Residensial Lite" seharga Rp400 ribuan dengan kecepatan 100-150 Mbps menjadi primadona kelas menengah perkotaan yang lelah dengan lemotnya provider lokal. 


Dalam hitungan bulan, kapasitas satelit Low Earth Orbit (LEO) Starlink yang mencapai 23.7 Tbps per satelit itu ternyata tak cukup menampung gelombang peminat Indonesia.


Ledakan Permintaan vs Keterbatasan Satelit: Duka Daerah 3T

Pengumuman resmi Starlink jelas menyatakan bahwa "Kapasitas terjual habis di seluruh Indonesia".  


Istilah "terjual habis" ini bukan sekadar metafora, melainkan indikator bahwa jumlah pelanggan aktif telah melewati ambang teknis yang bisa didukung konstelasi satelit mereka di atas Indonesia. Imbasnya adalah pendaftaran pengguna baru dihentikan total dan aktivasi perangkat dari pengecer pihak ketiga dibekukan.


Bagi masyarakat Kupang dan ratusan desa di NTT yang telah mengumpulkan dana untuk memasang Starlink, keputusan ini bagai hantaman petir.  Padahal, mereka adalah kelompok yang paling diuntungkan secara sosial-ekonomi menurut rencana awal. 


Sementara itu, pengguna di Jakarta yang memakai Starlink sebagai "internet cadangan" justru masih bisa menikmati layanan.


Analisis Pakar: Dampak Rantai di Pasar Digital Indonesia

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi melihat kebijakan ini sebagai langkah tepat untuk menjaga kualitas.  


"Memaksa layanan melebihi kapasitas hanya merugikan konsumen" tegasnya. Namun dia juga menekankan efek positifnya adalah terbukanya ruang kompetisi bagi pemain satelit lokal seperti Pasifik Satelit Nusantara (PSN) dan operator seluler.


Sementara itu, Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Firdaus Adinugroho mengingatkan risiko inflasi harga.  Hukum supply-demand bisa mendongkrak tarif Starlink jika kelangkaan ini berkepanjangan. 


Analisis ini menemukan relevansinya ketika menimbang paket bisnis Starlink yang bisa mencapai Rp5,3 juta/bulan.


Bayang-bayang Kedaulatan Digital: Regulasi vs Teknologi

Di balik isu kapasitas, terselip pergulatan kedaulatan digital.  Komdigi melalui Dirjen Infrastruktur Digital Wayan Toni Supriyanto menegaskan bahwa Starlink wajib tunduk pada Permenkominfo No. 3/2025 yang mewajibkan infrastruktur fisik di Indonesia dan akses pengawasan pemerintah. 


Regulasi tersebut lahir setelah insiden di Iran, di mana Starlink tetap aktif saat pemerintah mematikan internet.


Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro ITB Ian Joseph Matheus Edward memperingatkan bahwa "Fenomena Iran bisa terulang di Indonesia" jika kontrol tidak diperketat. 


Ironisnya, kemampuan teknis Starlink yang menggunakan jaringan satelit antar-koneksi memungkinkan mereka "melewati" gateway lokal – celah yang masih menjadi perdebatan regulator.



Jalan ke Depan: Antara Daftar Tunggu dan Diplomasi Orbit

Meski pintu pendaftaran ditutup, Starlink menyediakan daftar tunggu melalui tautan khusus dengan membayar deposit. 


Namun perusahaan starlink terang-terangan menyatakan "tidak bisa memberikan perkiraan waktu ketersediaan".  


Tim Starlink disebut sedang bekerja sama dengan "pihak lokal" – fransa ambigu yang diduga merujuk pada negosiasi dengan Komdigi terkait ekspansi kapasitas.


Langkah strategis yang bisa diambil pemerintah:

  1. Mempercepat review kapasitas spektrum frekuensi untuk alokasi tambahan satelit Starlink

  2. Insentif bagi kompetitor lokal mengisi celah layanan 3T

  3. Pemetaan kebutuhan riil daerah blank spot untuk memastikan kuota prioritas


Seperti pisau bermata dua, penghentian sementara ini menyimpan hikmah:

  • Bagi konsumenJaminan kualitas jaringan yang stabil.  
  • Bagi pasar:  Peluang emas bagi pemain lokal seperti Moratelindo dan Telkomsat untuk menawarkan alternatif layanan satelit. 
  • Bagi regulator:  Momentum memperkuat kerangka kedaulatan digital.


Ketika gembar-gembor teknologi global bertubrukan dengan realitas regulasi dan kapasitas lokal, kisah Starlink di Indonesia menjadi pembelajaran berharga. 


Revolusi digital tak cukup digerakkan oleh satelit asing – tapi membutuhkan ekosistem dalam negeri yang tangguh. 


Sementara menunggu kapasitas baru, harapan itu kini tergantung pada negosiasi di meja regulator dan kesiapan pemain lokal memikul beban konektivitas nusantara.


Sumber:  Starlink - "Catatan Penting untuk Pelanggan Baru di Indonesia".