Kebijakan TKDN untuk Apple: Proteksionisme yang Justru Menghancurkan Pasar?

Notification

×

Kebijakan TKDN untuk Apple: Proteksionisme yang Justru Menghancurkan Pasar?

09/03/2025 | Maret 09, 2025 WIB Last Updated 2025-05-05T00:52:06Z
TKDN Apple


TKDN dan Ambisi Indonesia

Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di Indonesia dirancang untuk mendorong industri lokal dengan mewajibkan perusahaan asing menggunakan komponen atau berinvestasi dalam negeri. 


Namun, penerapannya pada Apple Inc. justru memicu kritik tajam.  Pemerintah Indonesia menilai Apple tidak memenuhi komitmen investasi dan research and development (R&D), sehingga izin edar iPhone terancam dicabut


Di sisi lain, ekonom dan pelaku bisnis menyebut kebijakan ini "distorsif" karena menciptakan distorsi pasar, merugikan konsumen, dan menghambat investasi asing.



Mengapa TKDN untuk Apple Dinilai Distorsif?

Pemaksaan investasi yang tidak relevan dengan rantai pasok global, Apple dikenal mengandalkan rantai pasok global yang efisien, dengan komponen diproduksi di negara-negara seperti China dan Vietnam.  


Kebijakan TKDN memaksa Apple berinvestasi di Indonesia untuk memenuhi syarat 40% kandungan lokal, meskipun infrastruktur dan kapasitas produksi lokal belum memadai.


Contohnya, pemerintah menolak proposal investasi Apple senilai USD 100 juta untuk produksi AirTag di Batam karena dinilai tidak terkait langsung dengan produk inti seperti iPhone 510.


Dampak: Investasi terpaksa dialokasikan ke proyek "pemuasan regulasi" alih-alih meningkatkan efisiensi bisnis.



Pasar Gelap yang Marak

Larangan iPhone 16 akibat ketidakpatuhan TKDN justru memicu penyelundupan. Bea Cukai menyita 102 unit iPhone 16 yang masuk ilegal pada November 2024


Fenomena ini menunjukkan kebijakan TKDN gagal melindungi pasar domestik, malah merugikan negara lewat hilangnya pendapatan pajak dan maraknya perdagangan ilegal.



Biaya Produksi dan Harga Konsumen yang Melambung

Studi CSIS (2022) membuktikan bahwa kenaikan 1% TKDN berkorelasi dengan penurunan produktivitas perusahaan sebesar 0,0039%.  Untuk memenuhi TKDN, Apple harus membeli komponen lokal yang lebih mahal atau kualitasnya di bawah standar global. 


Biaya ini akhirnya dibebankan ke konsumen, membuat harga iPhone di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga.


Ketimpangan dengan Negara ASEAN Lain

Vietnam, dengan populasi lebih kecil, sukses menarik investasi Apple senilai USD 15 miliar karena kebijakan fleksibel dan infrastruktur memadai.

  
Sementara Indonesia, meski pasar besar, kalah akibat birokrasi rumit, produktivitas rendah, dan indeks supremasi hukum yang buruk (42,31).  Kebijakan TKDN yang kaku dinilai memperparah ketertinggalan ini.



Pro-Kontra di Tingkat Pemerintah

Kemenperin berargumen TKDN melindungi industri manufaktur dan menciptakan multiplier effect ekonomi Rp 3.170 triliun.  Mereka juga mendesak Apple membangun R&D, bukan sekadar Apple Academy yang dinilai tidak memadai.


Ekonom UI, Teuku Rifki, menyebut TKDN sebagai kebijakan "seragam" yang mengabaikan keragaman sektor industri.  Daripada mendorong inovasi, kebijakan ini justru memicu perburuan rente dan mengurangi daya saing global Indonesia.


Dampak Jangka Panjang: Ancaman bagi Posisi Indonesia di Mata Investor

Laporan AmCham Indonesia dan Kadin AS menegaskan bahwa TKDN menjadi penghambat utama investasi AS.  Apple, misalnya, lebih memilih Vietnam yang menawarkan insentif pajak dan prosedur ekspor-impor 50% lebih cepat. 


Jika kebijakan tersebut tidak direformasi, Indonesia berisiko kehilangan peluang menjadi bagian dari rantai pasok teknologi global.



Kebijakan TKDN untuk Apple Mencerminkan Paradoks

Di satu sisi ingin melindungi industri lokal, di sisi lain justru merusak iklim investasi.  Seharusnya bukan malah menghapus TKDN, tetapi membuatnya lebih fleksibel, 


Seperti memperluas definisi "investasi" hingga mencakup transfer teknologi dan pelatihan SDM, menyederhanakan birokrasi dan meningkatkan kepastian hukum.


Belajar dari Vietnam yang mengganti TKDN dengan integrasi rantai pasok global.  Tanpa perubahan, Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam persaingan ekonomi digital Asia Tenggara.  Proteksionisme tanpa strategi jelas adalah jalan menuju kehancuran pasar.


Referensi Artikel: