Pelajaran Berharga dari Netflix: Monolith vs Microservices, Mana yang Lebih Cocok untuk Scaling?

Notification

×

Pelajaran Berharga dari Netflix: Monolith vs Microservices, Mana yang Lebih Cocok untuk Scaling?

23/09/2025 | 4:15:00 PM WIB Last Updated 2025-10-21T10:17:12Z

Pernah nggak sih, kamu bertanya-tanya kenapa Netflix begitu lancar dipakai jutaan orang, bahkan saat jam nonton ramai-ramainya? 

Semuanya berkat sistem teknologi yang mereka pilih.  Tapi, cerita Netflix justru menyimpan pelajaran menarik tentang dua konsep besar dalam dunia pengembangan aplikasi: monolith dan microservices. Mana sebenarnya yang lebih scalable?  Yuk, kita bahas bareng!

Mengenal Istilahnya: Monolith dan Microservices

Sebelum lanjut, kita kenalan dulu sama dua istilah ini, yuk!

  • Monolith:  Monolith, dalam konteks arsitektur perangkat lunak, merujuk pada sebuah aplikasi yang dibangun sebagai satu unit yang tunggal dan utuh di mana semua komponen dan fungsinya—seperti antarmuka pengguna, logika bisnis, dan akses data—terintegrasi dan dijalankan dalam satu proses.
  • Microservices: Setiap bagian penting aplikasi dibuat terpisah, dengan tugas khusus masing-masing.

Selama ini, banyak perusahaan teknologi beralih dari monolith ke microservices karena dianggap lebih mudah dikembangkan dan scalable.  Tapi, bagaimana faktanya di Netflix?


Kisah Netflix dan Perjalanan Mereka Memilih Arsitektur

Netflix dulu memulai dengan monolith.  Tapi, setelah mereka tumbuh dan jumlah pengguna melonjak, mereka mencoba sistem microservices.  Idenya, supaya lebih fleksibel dan setiap tim bisa mengerjakan bagian masing-masing tanpa ketergantungan.

Ternyata perjalanan mereka tidak semulus bayangan!  Setelah beralih ke microservices, muncul masalah seperti kompleksitas tinggi, sulit mengatur relasi antar bagian, hingga tantangan dalam testing dan monitoring. Sistem memang jadi lebih modular, tapi juga lebih ribet.

Monolith: Sederhana Namun Tangguh

Ternyata, sebelum beralih total ke microservices, Netflix sempat membuktikan bahwa monolith mereka bisa di-scale dengan sangat baik. 

Mereka cukup menambah kapasitas server untuk meng-handle lebih banyak pengguna tanpa harus mengubah kode terlalu banyak.

Hal tersebut jadi pelajaran penting: kadang, solusi sederhana seperti monolith justru bisa lebih handal untuk skala tertentu.  Monolith lebih mudah disetel, dipantau, dan di-debug.  

Perbandingan Monolith vs Microservices

Arsitektur Kelebihan Kekurangan
Monolith
  • Lebih mudah dikembangkan awal
  • Dikelola dari satu tempat
  • Tes dan monitoring sederhana
  • Kurang fleksibel kalau sudah sangat besar
  • Sulit dikembangkan tim besar
  • Microservices
  • Fleksibel dan modular
  • Mudah dikembangkan tim berbeda
  • Bisa scaling bagian tertentu saja
  • Kompleksitas tinggi
  • Sulit monitoring
  • Pengujian lebih rumit

  • Melihat tabel di atas, kamu bisa bandingkan langsung mana yang lebih cocok untuk kebutuhanmu.

    Apakah Microservices Selalu Lebih Baik?

    Pernahkan kamu bertanya, “Kalau microservices lebih populer, kenapa monolith tetap dipakai?” Sederhana saja, tidak semua aplikasi butuh sistem yang kompleks sejak awal.

    Banyak startup dan bisnis kecil bahkan bertahan lama dengan monolith.  Mungkin kamu bisa mulai seperti Netflix, yang awalnya monolith dulu sampai betul-betul harus scaling besar-besaran.

    Microservices memang menawarkan fleksibilitas.  Tapi, jalur upgrade ke sana seringkali butuh biaya, waktu, dan sumber daya ekstra.

    Kapan Perlu Memilih Monolith, Kapan Microservices?

    Setiap proyek punya kebutuhan beda. Berikut beberapa pertimbangan sebelum kamu memilih:

    • Pilih monolith jika tim masih kecil, waktu atau budget terbatas, dan aplikasi belum terlalu kompleks.
    • Pilih microservices jika aplikasi mulai berkembang pesat, tim bertambah banyak, atau kamu perlu scaling bagian tertentu saja.


    Ingat, tidak ada satu jawaban pasti yang cocok semua kasus.  Netflix sendiri akhirnya memakai kedua sistem ini sesuai kebutuhan mereka.

    Tips Memulai Arsitektur yang Tepat

    Berdasarkan perjalanan Netflix dan pengalaman banyak developer, berikut tipsnya:

    • Mulai dengan sederhana jangan langsung ikut tren, mulailah dari kebutuhan nyata.
    • Pikirkan jangka panjang apakah sistem sekarang mudah untuk dibagi-bagi di masa depan?
    • Fokus pada kebutuhan tim apakah koordinasi lebih mudah dengan satu aplikasi, atau perlu dipisah supaya lebih efisien?


    Dan yang paling penting, belajar dari pengalaman Netflix membuktikan bahwa monolith dan microservices sama-sama punya kelebihan.  Yang terpenting adalah memilih sesuai situasi dan kebutuhan perusahaanmu!

    Skala Bukan Hanya Soal Arsitektur

    Jadi, monolith ataupun microservices bukan cuma soal teknologi atau tren semata, tapi bagaimana cara kamu mengelola dan mengembangkan aplikasi secara berkesinambungan.

    Kuncinya, fokus pada solusi terbaik menurut kapasitas tim dan kebutuhan bisnis saat ini. Next time, kamu nggak perlu ikut-ikutan tren aja. Pilihlah dengan bijak!